Semester Dua (Hari Kedua)

Pas bangun tidur, matahari wis benter. Buru-buru ke kamar mandi yang di dalamnya ga ada sampo. Alamat deh sampoan pagi sabun lagi, lha wong lupa-lupa terus mau beli.

***

nyampe kampus pas jam 8. Pagi itu aku ada mata kuliah statistik terapan di ruangan 1.07. Yang mana adalah pertemuan pertama.
Buru-buru melesat ke ruangan dong aku. Begitu nyampe ruangan, eh malah berasa dalam film horor. Gelap. Gorden belum dibuka dan lampu belum nyala. Antara bingung dan ngantuk, aku mutusin buat nunggu di ruangan.
Semenit
2 menit
5 menit
8 menit
9 menit
12 menit
14 menit
15 menit
okay, aku keluar.
Oh iya, jangan-jangan ga di ruangan ini kuliahnya.
“tuuttth…. tuuttth…”
ga diangkat sama ketua kelas.
Wah, kayaknya bener nih, mereka udah pada masuk di sebuah ruangan yang bukan 1.07.
*naik-turun tangga*
*intip-intip ruangan*
*hilir-mudik*
ga ada juga.
Trus pas di koridor sudut gedung deket parkiran, Egi dateng. Wah anak ini kesiangan. Persis dengan dugaan, dalam pengakuannya, di ga mandi. Ssstt ahahaha. Ada temen senasib seperjuangan. Sama-sama ga mandi dan telat. Dan ga nemukan satupun temen kelas.
Hahaha.
Ga lama kemudian, ketua kelas nelpon.
“ada apa, mas? Hah? Ga dapet SMS dari Elsa? Kita hari ini ga jadi masuk Statistik Terapan, mas. Bla bla bla”
t a h i k s h i k s h i k s

***

Semua yang ada di dalem kelas pada sibuk ngomongin nilai. Biasanya kami kalo lagi nunggu dosen jarang di kelas. Jam kedua ada mata kuliah Pendidikan Syariah. Pertemuan pertama juga. Dan… 50 menit menunggu, ternyata dosennya ga ada kabar. Persis kayak pas kamu ninggalin aku dan memilih kawin dengan lelaki letoi se letoi bek lapis kedua El Real yang digulung Atm. Madrid 4-0 minggu kemarin. Apa sih ini.
Akhirnya hari itu cuma duduk-duduk di Kabel (Kantin Belakang) aja dari pagi sampe tengah hari.
Bener-bener ga ada yang seru. Huh.
Yowislah, tak turu sek. Hoammm.

Biokimia (pertemuan pertama)

Setelah membahas kontrak belajar, Pak Maizar, langsung masuk pada materi perkuliahan. Berikut yang nyangkut di otakku.

Biokimia ialah ilmu yang mempelajari semua aspek kimiawi pada makhluk hidup.

Pada tahun 1940an, Biokimia yang mulanya hanya sub bab pada suatu ilmu, akhirnya dapat berdiri sendiri. (aku sih paham maksudnya, tapi susah jelasinnya).

3 hal pendorong berdirinya ilmu Biokimia:
1. Pengakuan atas sistem multi enzim.
Semisal respirasi atau pada fotosintesis.
(aku nangkepnya, pengakuan itu dari kalangan ilmuan. Tadi mau nanya ke pak Maizar “siapa yang mengakui” tapi malah lupa).
2. Sifat turun-temurun pada makhluk hidup yang merupakan sifat biologis dapat diterangkan secara molekuler. Semisal identifikasi gen atau yang modern ialah DNA. (ini aku cukup paham dan mengerti).
3. Selama metabolisme terjadi transfer energi.
(pas, alias ngeh)

kesimpulan: berdasarkan 3 poin penjelasan, maka kusimpulkan, tidak ada makhluk hidup yang bermetabolisme tanpa ENZIM, DNA, ENERGI, sehingga ketiga hal tersebut begitu penting untuk dipelajari secara mendalam. Sehingga, seiring perkembangan zaman, atau tepatnya pada tahun 1940, resmilah Biokimia berdiri sendiri sebagai ilmu pokok. Halah, aku malah jadi bingung jelasinnya.

Nah, karna pendahuluannya sudah, sekarang kita memasuki pada tujuan. Kapal yang akan berlayar 3 sks ini haruslah punya tujuan. Biar ga terombang-ambing sampai tua di kampus. Mwehehe.
Tujuan mempelajari Biokimia:
1. Mempelajari senyawa-senyawa yang terdapat pada makhluk hidup dan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh makhluk hidup.
2. Mempelajari fungsi dan transformasi dari senyawa-senyawa yang terdapat pada makhluk hidup.
3. Menelaah transfermasi dengan hubungannya dengan aktifitas kehidupan.
(teeettt! Mengulang kata “dengan”. Wis, rapopo alias rapuh porak-poranda. Ahahaha).

Kelas berakhir.
Pertemuan pertama itu aja yang menurutku penting. Sampai ketemu di notes kampus berikutnya. Bye.

semester 2 (hari pertama)

hari ini hari pertamaku di semester dua. sebenernya hari ketiga sih, lantaran budaya bangsa ini yang gemar “molor”, ya gitu deh. di hari pertama ini teman-teman–juga aku, sibuk melihat mading kampus. kami disibukkan untuk melihat nilai-nilai semester satu kemarin yang…yah bisa dikatakan molor juga.

sebagian teman-teman menunjukkan wajah puas–bisa jadi nilai yang diharapkan hancur malah ternyata bagus, sementara sebagian lagi kebalikannya. termasuk aku sendiri. tapi ya sudahlah, mungkin itu memang kemampuanku. meskipun aku masih kecewa dengan nilai Biologi Pertanian yang hanya dapat C+. tapi lupakan aja. tiada guna memertanyakannya selain pada diri sendiri.

di jam pertama, kami masuk mata kuliah Biokimia, dosennya Bapak Drs. Maizar, MP. aku yang datang pertama ternyata masih kalah cepat dengan pak Maizar yang lebih dulu telah menunggu di ruangan. ya Tuhaaaaannnnn, maafkan kami.

tidak ada yang istimewa di jam pertama, hari pertama, selain binder baruku. mwehehehehe.

sambil menunggu masuk jam biasa, seperti biasa kami duduk-duduk di kantin. ngota ga jelas sembari ngomongin nilai dan menertawakan banyak hal. syukurlah tidak seperti biasanya–ngomongin cewe-cewe yang lewat. :p

di jam kedua kami masuk mata kuliah Ekonomi Pertanian. dosennya Pak Saipul Bahri (lupa gelarnya apa, panjang sih). ada sedikit kejutan kecil. bapak itu yang terlihat pendiam, ternyata jago juga stand up comedy, seperti halnya Pak Ikhsan dosen PKn di semester satu yang baik hati (buktinya aku dikasih nilai B+ mhahahaha).

eh sebenernya masih ada yang mau aku ceritain lagi, tapi baterai notebook lowbat nih, besok aja disambung lagi. bye.

I’m Sorry, I Love You. (1)

Hari ini aku benar-benar ingin menulis. Seperti biasanya, aku selalu bingung untuk memulainya. Lebih dari itu, aku juga bingung mau menulis apa. Tapi aku ingin menulis.
Bagaimana kalau menulis puisi saja?
Sayangnya aku bukan penyair.
Apa untuk menulis puisi harus menjadi seorang penyair?
Aku sedang tidak ingin mendebat dengan diri.
Kalau begitu mulailah menulis puisi!
Aku hanya menulis puisi ketika kebun salju membiru di musim dingin, purnama terbelalak di musim panas, dandelion beterbangan di musim semi, gemintang terbentang di musim gugur.
Lalu?
Ini musim hujan.
Maka tulislah sebagai musim dingin.
Tidak bisa.

Sementara di luar jendela, angin mendendangkan lagu dingin. Tapi suaranya seperti berbisik-bisik.
Telepon genggam yang sejak tadi berdering berkali-kali akhirnya bungkam. Mungkin dia kehabisan daya. Atau mungkin kamu telah bosan menekan nomorku. Aku tak tahu, yang kutahu aku lega karena bunyinya tak mengganggu lagu dingin di luar sana.

Kopi di gelas ke-8 hari ini tak menyisakan apa-apa selain ampasnya dan lidahmu yang tertinggal di dalamnya. Saat kau menyesapnya sore tadi sebelum melenggang bersama anjingmu, aku sudah mengingatkannya, tapi kau terlanjur menuli bersma bunyi Ducati, tunggangan anjingmu yang hari-harinya tak bosan menjemputmu dari kostanku.

Sajak-sajak Tihtian Asmoro di Riau Pos (Edisi 28 Desember 2014)

Lagu Seribu Btari Palsu

sebelum angin berpulang pada dingin, sebelum aku habis jadi abu pada ngarai senyummu: aku hanya ingin dengan sengaja mencintaimu untuk kuhambur-hamburkan kewarasanku.

lalu apa pula arti berdiri di atas api? dua tiga orang tetap menjadi sunyi selagi kau tak ingat lagi pertemuan kita di senja bergambar himalaya.

“bullshit! aku begitu mengenalmu,”
katamu, lewat lidahmu yang begitu rancau di mulutku
“kita akan tinggal pada ingatan-ingatan melankolis nada-nada memo mereka.”
kau begitu yakin.

“tapi….”
ah, lagi-lagi aku tak punya waktu untuk menjawabnya
sebab lebih dulu terjaga dari khayalan seribu btari asmara
dan selalu saja setelah semua itu
ingatanku berlayar pada senyummu di hari pernikahanmu
diiringi gemetar getir lagu palsu.

Himagron UIR, 8 November 2014.

Toilet Cafe

sesungguhnya, aku ialah daging yang suka berkutat dengan rasa malas
memandang rinai hujan dari balik jendela kamar
seraya berbaring sekenanya dengan rokok yang enggan padam
tapi itu dulu, saat aku masih tak menyukai mandi pagi
tepatnya pada potongan-potongan waktu sebelum pertemuan kita di toilet cafe
kala aku sengaja mabuk dan membuat langkah salah masuk
aku sengaja untuk mabuk cinta
kepadamu
sebab mengenalmu ialah dua pilihan;
mencintaimu atau larut dalam penyesalan

aku mulai enggan berdiam di balik dinding-dinding kamar
atau apapun yang dapat menghalang mataku untuk bertualang menggerayangi senyummu
itu sudah lama terjadi, semenjak aku keluar dari toilet cafe langganan kita, hingga sekarang
meskipun kini kau tinggal di tempat yang entah
aku tak peduli
sebab mencintaimu ialah dua pilihan;
memendam rasa itu dalam-dalam atau tenggelam pada rasa sakit yang ngilu, kelu kelam

belakangan, aku ingin menjadi tukang puisi
bercerita dengan bahasa sekehendak hati
menceritakannya dengan gamblang namun dengan bahasa yang menutup-nutupi
menutupi hal-hal dengan menceritakannya secara gamblang
agar aku bisa melupakanmu
atau sekadar mengurai rasa yang tak menentu
sebab melupakanmu, hanya ada satu pilihan;
mengingatmu setiap waktu.

Cafe Berpintu Pelangi, Awal Desember 2014.

Kenang-kenangan dari Hal-hal yang Sebentar

yang menggenang di dalam dadaku ternyata bukan rindu:
hanyalah hal-hal sebentar nan ngilu
dari masa lalu

dan dandelion
ialah labirin
seribu musim gugur
pada melupakan
atas kepergianmu

di kota ini orang-orang masih saja
mengeja aksara-aksara tak bernyawa
juga aku
seperti yang tak pernah selesai
memahami arti dari sebuah kepergian.

Kota yang Sama, Detik yang Berbeda, 9 Oktober 2014

Tersesat di Jalan Lurus

Aku abu-abu pada hijau langit matamu
Di ranah jantungmu aku terus menjadi asing
Sesekali aku meredam cahaya yang menyilaukanmu
Kemudian aku semakin menjadi pekat abu-abu sakat
Dan terus berulang-ulang
Hingga tak sempat mengingat pulang

Bibir-bibir terbahak-bahak disihir sajak
Rasa yang terarsir terus bergejolak
Dalam sajak terus memberontak

“Kau seorang perompak!”
Katamu, serempak dengan bunyi tapak langkahmu
Langkah tak berarah, bahkan terlalu entah
—Tapi di dalam darah yang merendam dalam-dalam demam nyaliku
: kau begitu pasti
Oh iya, sebentar…sebentar…
Sepertinya aku lupa bahwa mencintai
Sama dengan halnya mengurung diri dalam akar curiga, tersesat dalam sembunyi
Dan untuk bisa trelepas keluar
Harus singgah pada hal-hal yang sebentar
Berpuisi seperti ini misalnya.

Peristirahatan Saat Tersesat, November 2014.

Yang Kutahu dan yang Tak Kautahu

Tidakkah kaulihat kupu-kupu yang beterbangan
Mengikuti aroma parfummu hingga memenuhi ruangan
Yang berasal dari dadaku
Yang ditetaskan senyumanmu
Tiap kau dan aku larut dalam candaan

“Agar kautahu, apa aku harus menyemai kata-kata
Dan menyiramnya dengan hal-hal palsu,
Semisal rayu?”
Aku bertanya-tanya pada siluetmu
Pada ombak tinggi yang terlepas di sela-sela tawamu
Juga pada debar jantungku di hari-hari tiada kabarmu

Tapi aku tak pernah benar-benar tahu
Meski telah kutunggu dan terus aku menunggu
Menunggu, menunggu, menunggu
bahkan menunggul di api sudut matamu
Apakah ini cinta
Atau sekadar rasa kagum?
Jangan-jangan ini hanya tentang ruang-ruang kosong di hati yang bolong-bolong
Entahlah
Yang kutahu tak kutemu hal-hal menjemu kala bersamamu
Yang kutahu pelangi ada di mana-mana kala pejam matamu kian direkat bahak
Yang kutahu…
Ah, aku tak mau tahu lagi apa yang aku tahu
: kau tak benar-benar menginginkanku

Di tempat yang entah, 8 November 2014

Tihtian Asmoro
nama pena Septyan Adi Putra. Lahir pada 8 September 1989 di Semarang. Lulusan SMA Negeri 2 Singingi tahun 2008 ini tinggal di Pekanbaru untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Riau, program studi Agroteknologi. Selain menulis puisi, menonton film adalah kesenangannya sehari-hari.

Perjudian Kecil

: yang akan datang
Kelap-kelip tenang kunang-kunang berpijar-pijar terang

Bertebaran dari sudut matamu yang sayu

Lalu hinggap di kegelapan mataku

: yang pekat oleh masa lalu

Lalu apa?

Nyatanya kau sudah ada yang punya

Dan jangan katakan waktu yang tak tepat

Atau menyalah keadaan yang sakat

Dan kini, hal-hal yang sebentar

Perlahan mulai meletupkan

Dan mengisyaratkatkan

Mengusung pada ranah kenangan:

Sebuah pemakaman dengan keranda dan lahat yang paling dingin dan tajam menghujam deras menembus tulang-belulang kasih sayang. Dan menyampaikan kabar yang lebih buruk dari itu.

Tapi biarlah, bukankah untuk sebuah kebahagiaan kita memang harus berjudi?

Walau sekadar untuk mempertaruhkan hal-hal kecil dan sebentar dalam hidup ini;

Yang biasa kita sebut dengan “cinta”.

Himagron UIR, 6 September 2014.

Berbagai Rasa Purnama di Tepian Batang Kuantan Setelah Kepergian.

Temaram padang bulan turun rinai-rinai di atas kepala. Di tepian kota, seperti biasa aku membunuh waktu. Mengeja takdir yang kurasa tak adil. Ada yang tak kupahami dari yang dijelaskan cinta perihal perpisahan.

Ini ialah purnama kedua puluh sembilan semenjak kau retakkan pelupuk mataku dengan kepergian.

Aku tak tahu untuk apa dan sampai kapan aku begini setiap purnama berkeliaran di langit Kuantan—aku tak yakin menyebut ini sebuah penantian. Sebab nyatanya bus yang membawamu dari halte di ujung jalan fajar itu tak pernah sampai hingga tujuan. Bahkan, agaknya kini aku telah lupa untuk apalagi aku mencintaimu.

Barangkali memang benar apa yang pernah dinujumkan matamu dan mataku saat kali pertama bercumbu: tak ada pilihan lain untukku selain mencintaimu.

Bukan aku tak pernah mencoba menghadirkan aurora asmara lainnya untuk mengahapus siluetmu yang kian kentara, tapi kau pun tahu, dimabuk cinta ribuankali lebih huyung daripada berliter-liter ciu—mematahkan logika yang paling sederhana. Jadi aku memilih berdiri di tempat yang kau janjikan untuk kepulanganmu ini, sekadar menghisap berbatang-batang rokok dan menghembuskan kegaluanku bersama asapnya ke dinding-dinding malam. Mencoba merobohkan rerindu yang beterbangan dua langkah di belakangku, tiap langkahku.

Di atas, malam kian renta. Pun embun mulai pekat mengudara di dalam dada. Kapan kau akan tiba?

Kuantan Singingi, Purnama Keempat di Tahun 2014.

*)pernah dumuat di Tabloid Tran Zone edisi Mei 2014.

Lagu Seribu Btari Palsu.

: Kartika Dewi

sebelum angin berpulang pada dingin, sebelum aku habis jadi abu pada ngarai senyummu: aku hanya ingin dengan sengaja mencintaimu untuk kuhambur-hamburkan kewarasanku.

lalu apa pula arti berdiri di atas api? dua tiga orang tetap menjadi sunyi selagi kau tak ingat lagi pertemuan kita di senja bergambar himalaya.

“bullshit! aku begitu mengenalmu,”
katamu, lewat lidahmu yang begitu rancau di mulutku
“kita akan tinggal pada ingatan-ingatan melankolis nada-nada memo mereka.”
kau begitu yakin.

“tapi….”
ah, lagi-lagi aku tak punya waktu untuk menjawabnya
sebab lebih dulu terjaga dari khayalan seribu btari asmara
dan selalu saja setelah semua itu
ingatanku berlayar pada senyummu di hari pernikahanmu
diiringi gemetar getir lagu palsu.

4.41pm Himagron UIR, 8 November 2014.

Sajak-sajak Tihtian Asmoro – Riaupos.co

Sajak-sajak Tihtian Asmoro – Riaupos.co.

 

 

 

Sajak-sajak Tihtian Asmoro

 

 

 

 

Nada Tinggi
udara meninggi
di ketinggian langit-langit mulut
menyuarakan bisikan hati yang telah berlumut
yang dihakimi waktu“Sekarang, anggap saja kisah kita tak ada,
aku tak bisa lagi denganmu,” katamu
“jaga kesehatanmu. Aku pergi.”

kau berlalu begitu cepat, tanpa isyarat
pada akhirnya tak ada yang kita dapat
setelahnya, tiba-tiba pula
sajak ini terhenti sampai di sini.

Pekanbaru, 2014.

Ruang Tunggu

Setabah Dropadi bagi para Pandawa
Juga setenang arus dingin Batang Kuantan
Barangkali, begitulah ia selama ini menanti
: perempuan yang bersekongkol dengan harap

Tapi purnama selalu saja tenggelam
oleh terang yang dijanjikan matahari

memangnya, berapa banyak air mata yang dimau bahagia
untuk menukarnya dari kesedihan?
berapa jauh pula langkah yang ditempuh saat menunggu?
Adakah sebanyak dan sejauh morse-morse yang tercipta dari kepergian
Kosong. Tak ada kepergian paling menyenangkan untuk ditunggu
selain kepergian untuk pulang.

Buku Harian Perempuanku, 9 Maret 2014.

Pagi yang Urung Terbit

menjelang pagi
di peron utara kota, gadis berlidah dua
menyanggul cemas di dadanya
dari rok mininya, aku tahu
ia sedang menunggu dengan buru-buru
bibirnya pun teramat pasi
membayangkan nyanyian perutnya siang nanti

“bolehkah kupinjam rokokmu?”
padaku, teriaknya dari seberang jalan.
saat itulah aku berbalik membuka pintu kegelapan, sebagai pahlawan
yang tak pernah kutemukan satu alasan saat nanti ditanya Tuhan.

2011-2013.

Di Ambang Kenangan
: Kartika Dewi

(A/)
Ada yang tersisa di sela jemariku
Kesedihan 1000 tahun yang terus mengalun
tak kenal jeda sepanjang waktu
hanya berawal dari hujan minggu lalu

bukan sesal jika tak datang terlambat
padaku, setelah hujan yang begitu lebat
senja itu, tanahku kian lepek
di atas sekali, pipiku sangat becek

(B/)
Kini guntur mulai berteriak-berteriak
Bahkan pada hatiku yang beriak
Pada hatiku yang dalam
Semakin keras menghujam

Sekali saja aku ingin menatap matamu
Tepat tempat kujatuhkan hatiku
untuk kuambil kembali sebelum jalan jadi sunyi

(C/)
Aku takkan mempertanyakan
Perihal perih perpisahan
Janji yang teringkari
Mimpi yang dihapus pagi

(D/)
Lusa setelah namamu dan namanya disahkan para saksi
Dan jika kau bertemu aku di simpang cuaca rumah barumu kemudian hari
Saat itu aku tak sedang mencarimu
Saat itu aku akan dikutuk batu bila berjalan denganmu ke masa lalu
Sekalipun itu untuk mengambil hatiku—sebentuk alasan kepergianmu
Maka sebaiknya sore nanti kau kembalikan hatiku itu
Sekalipn telah sewarna kelabu.

Kuantan Singingi,  2014.

Harus Kusebut Apa Penyair yang Menuliskan Ayat-ayat Selat Sakat Halaman Kesepuluh, yang Telah Menghapus Kabut di Hatiku.
: Cikie Wahab

Ini bukan perihal perih merindukan seseorang yang dicintai, ini tentang halaman kesepuluh Ayat-ayat Selat Sakat. Tentang hati yang melepuh dan seseorang yang sekarat, oleh kabut, oleh nubuat yang dijanjikan hidup.
Ini bukan tentang perpisahan atau kembang yang baru saja mekar di tepian hati, ini tentang luka yang saling meredam, sama-sama ditinggalkan orang yang disayang.

Aku ingin terbang lagi dengan kepak sayap-sayap ilusi paling basi, yang kauajarkan lewat kicau rancau lidahmu di mulutku.

Lalu harus kusebut apa kau—seorang penyair yang menirukan berat kepakan nafas dua bibir yang saling memburu?
: menerbangkan kabut di hatiku jauh-jauh dengan lontaran riuh angin nafasmu di telingaku dengan gemuruh.

Kita—kau hanya sebatas huruf hidup, aku deretan huruf mati. Sisanya, barangkali hanya kalimat-kalimat berantakan tanpa spasi. Tapi aku tak peduli, umpama cinta tak perlu logika. Atau pada kepergian dengan absurd-nya alasan yang diberikan.

Aku ingin mendengar lagi, tentang Ayat-ayat Selat Sakat yang tak sempat kuingat, yang kauajarkan lewat lidahmu yang kacau parau di mulutku.

Lalu harus kusebut apa kau—seorang penyair yang menyibakkan kabut di hatiku lewat butir hujan yang kautuliskan pada sajakmu dan kaubacakan di dalam mulutku.?
Anggur yang tertumpah berlimpah di mulutku tak begitu memabukkan dibanding sedikit liur sajakmu yang tertuang dari ngarai bibirmu, yang jatuh hingga ke dasar hatiku saat kita bergumul di dalam sajak kebosanan.

Kabut beringsut

Jika bagimu aku berlebihan, maka sebuah kewajaran bagi yang menyaksikan. Sebab kau kurindukan. Kau kuinginkan.

Sepanjang Jalan Jendral Sudirman, Maret 2014.

Catatan: Ayat-ayat Selat Sakat, adalah judul antologi puisi pilihan Riau Pos, 2013.

 

 

—000—

 

meee

Tihtian Asmoro
lelaki lulusan SMA Negeri 2 Singingi, Kuantan Singingi, ini lahir pada 8 September 1989, di Semarang. Saat ini ia tinggal di kota Taluk Kuantan. Selain aktif menulis puisi dan menulis cerpen, menonton film adalah kesenangannya sehari-hari. Beberapa bulan terakhir, ia menjadi salah satu penggerak iven baca puisi bulanan di cafe-cafe, yang bertajuk Malam Puisi Pekanbaru.

Negosiasi

Pagi sudah semakin terang. Sementara itu Yaresaki, anak gadis penjual sate di pinggiran kota, masih saja sibuk berdandan. Berkali-kali ia mematut tubuhnya di depan cermin, padahal sedari tadi ibunya sudah gelisah minta ditemani berbelanja ke pasar.

Belakangan ini sate dagangan ibunya memang sedang booming, semenjak tetangga mereka memberi tau tentang khasiat daging khusus sebagai campuran daging sate. Konon kabarnya, daging tersebut mampu melezatkan semua masakan. Jadi, mereka harus pergi ke pasar pagi-pagi sekali untuk mendapatkan daging khusus tersebut sebelum didahului oleh para pedagang sate dari kampung sebelah. Dalam dua bulan belakangan ini, daging khusus tersebut semakin sulit didapat.

“Yaresakiiiii! Cepatlah sedikit, kita harus membeli daging sebanyak-banyaknya, orderan kita banyak, kalau kau lama begitu nanti bisa-bisa kita tidak kebagian daging.” Teriak Ibu Jelita, yang lebih akrab dipanggil Bu Jel, dari pintu depan. Sekilas ibunya melirik pangkalan becak di seberang jalan, satu per satu becak sudah mulai pergi mencari penumpang. “Iya iya, Bu, sabarlah!” Jawab Yaresaki tak kalah lantang sambil keluar dari kamarnya.

***

Benar saja, mereka kesiangan. Toko daging yang letaknya jauh di belakang pasar sudah dalam keadaan tergembok. Bu Jel buru-buru masuk kembali ke dalam pasar, lalu membeli daging bahan baku sate dan menitipkannya ke becak langganan mereka untuk diantar langsung ke rumah.

“Lihat ini, gara-gara ulahmu yang sok kecakepan kita tak dapat apa-apa.” Sergah Ibunya, kesal.  “Oke, sekarang jadi aku yang salah? Seharusnya kita tadi naik ojek, lebih cepat, bukan sok irit naik becak.” Yaresaki tak kalah ketus.

“Kau, ini melawan terus ya. Jelas-jelas gara-gara kau banyak dandan,”

“Hellooooowww… secara gitu lho Bu, aku ini anak gadis. Aku ndak mau ya kayak Ibu, ditinggal minggat Bapak. Ibu juga salah kenapa ndak bangunin aku pagi-pagi.”

Ibunya hanya geleng-geleng kepala sambil mengurut dada menghadapi perangai anaknya yang mirip dengan perangainya sendiri.

“Ya sudah, kita coba lihat di rumah Bu Maryam. Mungkin dia punya!”

“Tapi Bu……” Sebenarnya Yaresaki lebih ingin pulang, tapi Ibunya sudah kepalang masuk ke dalam angkot.

***

“Harga segitu, saya sudah terima bersih kan, Bu? Maksudnya sudah disembelih dan dikuliti di sini kan?” tanya Bu Jel.

“Bagaimana ya, Ibu kan tahu sendiri…” Jawab Bu Maryam berbisik-bisik, seolah-olah ada mata-mata yang siap kapan pun menggerebek mereka, padahal mereka sedang bernegosiasi di sebuah gudang pengap dengan pagar beton yang tingginya dua kali tinggi rumah.

“Ayo dong, Bu.. di rumah kami kan ndak ada laki-laki. Nanti siapa yang menyembelih dan mengolah? Lagian kondisinya cacat begitu.” Bu Jel terus mendesak. Sesekali ia melihat ke arah Yaresaki untuk memastikan anak gadisnya itu belum bosan menunggunya di depan pintu gudang.

“Baiklah, tapi diskon harganya cuma 10% ya, Bu, tidak seperti harga obralan yang kami janjikan senilai 20% itu.” Bu Maryam menawarkan jalan tengah.

“Aduh Bu, harganya tak bisa kurang lagi, Bu? 15% bagaimana?” Bu Jel gigih bernegosiasi.

Bu Maryam mulai kesal dengan negosiasi yang tak kunjung selesai. “Jangan ditawar lagi, Bu. Mati-matian saya melahirkan mereka.”

Akhirnya Bu Jel menyerah juga. “Baiklah Bu, saya ambil yang laki-laki semua. Rupanya anak saya suka kemaluan laki-laki.” Ujar Bu Jel lirih, “ Ia ketagihan setelah melahap punya bapaknya.” Lanjut Bu Jel terbahak-bahak, namun terdengar dalam dan menakutkan.

 

@Tihtian,

 

*)Terinspirasi dari:

@fiksimini: RT @lidahpatah: OBRAL – “Harganya tak bisa kurang lagi, Bu?” “Jangan ditawar lagi. Mati-matian saya melahirkan mereka.”

On 17 Maret 2014.

156km Melankoli Masa Lalu; Desir Jam Pasir

: kepada Kartika Dewi

Desir-desir jam pasir mengarsir ingatan
Celakanya tentang kesedihan pada penantian
Kesedihan ini; kukira hanya kaupinjamkan
Ternyata kauberikan

Desir-desir jam pasir memintal rindu
Membawaku kembali pada masa lalu
Di mana kamu dengan setia menungguku
Meski kautahu aku tak pernah menujumu

Tersebutlah aku celaka dalam perjalan
Di antara 156km melankoli masa lalu;
hatiku terjatuh lebam ditabrak kenyataan
Tentangmu yang tak lagi menantiku

Desir-desir jam pasir menghentikan laju putaran waktu
Kudengar tegas suaramu yang melayang pada bayu-bayu
Diiringi rengekan anakmu yang bermanja dengan suamimu
Kini hatiku tak hanya lebam, tapi remuk, umpama abu

Pada tiap sekat-sekat cuaca sekaratlah aku
Tapi aku tak mau menjadi sakat atau benalu bagimu

Maka aku memilih pergi dan tinggal pada pigura melankoli
Yang kubuat sendiri dari larik-larik sajak yang tak selesai ini.

Tihtian Asmoro,

Athceh Kupi, 26 Januari 2014.

156km Melankoli Masa Lalu (3).

: kepada yang meniupkan rindu dari masa lalu







aku telah lupa: seberapa lama
aku mencintaimu.
bahkan, aku telah lupa;
untuk apa aku mencintaimu.

desir-desir morse pada siluetmu,
juga 1000 tanda tanya musim gugur;
membenturkan ingatan pada kisi-kisi kenangan

: 156 Kilometer melankoli masa lalu

bukanlah sekadar nubuat semu




barangkali aku terlalu yakin
akan cinta yang hanya main-main
(hingga aku tersesat
ditiup bayu-bayu asmara
yang paling buta)
tapi gagak begitu kentara
memekik tanpa ragu di telinga
dan wangi parfummu begitu menyengat—dari jarak 156 Kilometer melankoli masa lalu

memaku langkah—



—000—



Tihtian Asmoro,

Lubuk Sakat, 12 Januari 2014.



*) dikutip dari kerinduan—yang melipat jarak yang ditiupkan bayu-bayu asmara pada sela-sela sajak pada jarak.




Doa; Seorang Mantan Kekasih (II).




: kepada yang telah mengenali masa lalu








Telah tiba benang harus putus langit

telah mengantuk mengawasi;

jerat-jerat tali harus dilepas

jerit-jerit tangis harus dibungkam;

ruang harap telah disekat.




Telah tiba kita saling

tersenyum di antara jarum

yang masih menancap;

itulah pengorbanan, yang tak mesti dipamerkan

cintamu cinta itu juga




kita tetaplah sepasang kekasih—yang

tak sempat dituliskan waktu.

sungguhpun ngilu

terlanjur bersarang tiap;




Kita saling mengenang—




Tihtian Asmoro,



  • Doa; Seorang Mantan Kekasih (I).


    Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry®