Ada yang gaduh pada bunyi “tik” di arloji tanpa batere ini: rindu. Pada sunyi yang kesepian sebuah tanda tanya kian meremang (cinta yang tak dianggap, juga omong kosong anak kecil miskin yang bisu pada tembok pagar di pekarangan rumah orang kaya) membawa kantuk yang berlebihan.
Tak kukira, di pipimu; keras hatiku terseduh airmatamu. Inikah cinta? belum terjawab birunya air matamu yang bisu malah menghardikku; “Jangan sakiti aku lagi!”.
sebilah pisau sedang marah. Pikirku.
iya! Lidahmu ialah seribu pisau dengan Ludah yang terbuat dari suka-duka air matamu — yang biru, yang rindu — yang suka-suka
: seperti gagak di jantungku yang kian duka.
Tihtian Asmoro,
Biru Semu, Pekanbaru, 22 November 2013.
Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry®