Bisunya Air Mata Biru

Ada yang gaduh pada bunyi “tik” di arloji tanpa batere ini: rindu. Pada sunyi yang kesepian sebuah tanda tanya kian meremang (cinta yang tak dianggap, juga omong kosong anak kecil miskin yang bisu pada tembok pagar di pekarangan rumah orang kaya) membawa kantuk yang berlebihan.

Tak kukira, di pipimu; keras hatiku terseduh airmatamu. Inikah cinta? belum terjawab birunya air matamu yang bisu malah menghardikku; “Jangan sakiti aku lagi!”.

sebilah pisau sedang marah. Pikirku.

iya! Lidahmu ialah seribu pisau dengan Ludah yang terbuat dari suka-duka air matamu — yang biru, yang rindu — yang suka-suka

: seperti gagak di jantungku yang kian duka.

Tihtian Asmoro,
Biru Semu, Pekanbaru, 22 November 2013.

  • Puisi di atas saya tulis berdasarkan kerinduan yang entah kapan dapat terobati. Di mana sebuah kebosanan — cinta yang digantung terlalu lama — membuat spasi-spasi pada jarak, hingga dia yang dekat terasa jauh, dia yang terlihat serasa tidak, dan suaranya yang terdengar serasa angin spoi. Tapi entah kenapa sampai saat ini saya belum mampu berpaling — mencintai yang lain — selain dirinya. Semacam kesetian yang sia-sia yang sangat sukar untuk diungkapkan dan dimengerti. Yang pasti, terhitung sudah 7 tahun hati saya kacau semenjak mengenalnya, tapi yang saya rasakan (semacam) bahagia seperti ini; dalam perihnya kasih tak sampai.
  • Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry®

    I’m Sorry, I Love You

    “Sayang, kamu masih marah ya?” tanya Noy kepada Yaresaki. Wajar jika Yaresaki marah, bagaimana tidak jika Noy selaku kekasihnya malah terlambat datang ke pesta ulang tahunnya. Bahkan Noy datang ketika pesta hampir usai.

    “Beri aku satu alasan saja, Noy, apa yang membuatku tak pantas untuk marah?!” jawab Yaresaki dengan mata yang berkaca.

    “Sebenarnya sore tadi aku mengumpulkun senja dan pelangi, sebagai kado untukmu. Sebab aku tak punya cukup uang untuk membelikanmu sesuatu yang indah. Sekarang lihat itu.” Noy memeluk Yaresaki dari belakang sambil menunjuk langit.

    Yaresaki tersenyum melihat langit malam yang berubah menjadi senja lazuardi berhias pelangi.

    “I love you, Noy…..”

    —oo000oo—

    Tihtian

  • Diikutsertakan dalam: #FF100Kata
  • Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry®

    Pembantaian Penyamun

    Tak kurang dari tiga jam, kampung yang dihuni oleh para penyamun ini berubah menjadi lautan darah.

    “Jangan sampai lolos, itu yang terakhir, cepat bunuh!” Teriak komandan pemburu penyamun saat membantai peyamun yang terakhir.

    Para pemburu penyamun terbahak setelah memastikan tidak ada penyamun yang tersisa.

    Setiap pemburu penyamun kini menenteng satu kepala penyamun untuk ditunjukkan kepada wali kota yang memerintah mereka.

    Tiba-tiba salah satu pemburu penyamun itu gemetaran. Melihat kepala yang ditentengnya ternyata kepalanya sendiri. Hal itu terjadi kepada satu per satu anggota pemburu penyamun lainnya.

    “Sekarang siapa yang dibantai?” Kata pimpinan penyamun yang diikuti dengan tawa kemenangan penyamun-penyamun lainnya.

    –oo000oo–

    Tihtian Asmoro,

  • Diikutsertakan dalam: #FF100Kata
  • Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry®

    Panah Asmara Dewi Amor.

    “Kita putus!” Kata Noy dengan tegas tepat di depan wajah Yaresaki. Yaresaki mematung dengan mata berkaca-kaca.

    Jerit tangisan di hati kecil Yaresaki terdengar sampai Khayangan. Ini membuat Dewi Amor sebagai Dewi Cinta merasa iba.

    Tak lama kemudian, sambil menari-nari kecil Dewi Amor turun ke bumi. Dari jarak beberapa meter di belakang Noy, Dewi Amor membidikan panah asmara ke arah Noy.

    Anak panah dilepas…

    “Hap”. Noy menangkap panah asmara dan membalikan badannya.

    “Woy, Mbak, aku sudah nggak mencintai Yaresaki. Jadi nggak usah sok jadi pahlawan dengan melepaskan panah asmara. Ini, cepat ambil panah asmaramu”. Bentak Noy kepada Dewi Amor.

    –oo000oo—

    Tihtian Asmoro,

  • Diikutsertakan dalam: #FF100Kata
  • Sumber gambar: tema #FF100Kata
  • hari ketigabelas.

    Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry.

    Why Always Wrong A Man’s Eyes?

    “Kenapa selalu mata lelaki yang disalahkan, ketika payudara ranum sengaja dipamerkan?!” Noy membela diri saat disidang di Kelurahan Sukacabul lantaran pandangannya yang dinilai sangat meresahkan kaum hawa.

    Dalam hati Pak Lurah Kampung Sukacabul itu sebenarnya setuju dengan pembelaan Noy. Tapi mengingat keresahan warga atas perilaku Noy, Lurah Sukacabul itu harus berpikir dua kali untuk tidak menyalahkan Noy.

    “Halah, dasar kamunya saja yang otaknya ngeres!!!” bentak Sikamura, ayah Yaesaki yang selalu ditelanjangi oleh tatapan Noy. Warga bersorak mendukung Sikamura.

    “Iya, tuh!!” Yaresaki menambahkan.

    Suasana tiba-tiba hening. Semua mata lelaki tertuju pada payudara Yaresaki, yang bajunya hanya mampu metutupi bagian putingnya saja.

    —oo000oo—

    Tihtian Asmoro,

  • Diikutsertakan dalam: #FF100Kata
  • Sumber gambar: www.dikonews.com
  • Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry.

    Sarap(an)

    Ini adalah pagi pertama Noy dan Yaresaki setelah menikah. Acara resepsi yang melelahkan kemarin dan ditambah malam pertama membuat Noy kelelahan.

    “Mas, bangun, Mas.” Yaresaki membangunkan Noy karena sudah waktunya sarapan. Noy membuka mata seraya melempar senyum.

    “Ini aku bawakan sarapannya, Mas. Kita sarapan di kamar saja.” Ujar Yaresaki setelah mengecup bibir Noy dengan mesra.

    Tapi Noy sudah tak tahan ingin buang air kecil. Maka disambarnya sepotong daging sambil berjalan ke toilet yang menyatu dengan kamar.

    Dikunyahnya daging panggang itu Noy membuka celananya.

    “Anuku mana?!” Teriak Noy dengan spontan karena kaget.

    “Barusan kamu makan, Mas.” Sahut Yaresaki sambil menikmati orgasme.

    —oo000oo—

    Tihtian Asmoro,

  • Diikutsertakan dalam: #FF100Kata
  • Sumber gambar: www.vemale.com
  • Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry.

    Siapa? (Episode 03)

    Tangis yang pecah di pelupuk matamu
    telah melukiskan kesedihanmu, di jantungku.
    Barangkali inilah cinta. Bukan begitu, bukan!
    Tepatnya: mencintai..

    Kerut bibir merah jambu, ialah sepi
    Saat duka bibir itu bukan untukku.
    Tapi nyanyian tetap hanya nyanyian
    Pun dengan aku
    dan puisiku

    Siapa kamu?
    Membuatku rela menjilati tiap air mata
    yang mengalir di pipimu
    yang dijatuhkan bukan karena aku
    Siapa? Siapa! Katakan padaku: untuk apa aku begini.

    Bukan kecantikanmu sebab aku menujumu
    Bukan sajak peneman sepimu yang kautulis sendiri
    Bukan kisah cintamu yang masai
    Bukan deru air matamu yang menggebu
    Tapi merah bibir dan matamu
    yang membuatku menyadari;
    Berartinya kehidupan.

    Siapa kamu?
    Aku ingin kamu. Tapi,
    siapa aku.

    Tihtian Asmoro,
    Demikian Dalam Suratnya, Batang Kuantan, 16 November 2013.

    *)baca juga:

  • Siapa? (Episode 02)
  • Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry.

    Konser

    Keringat mulai membasahi baju tanpa lengan yang dikenakan Noy. Meski begitu, tak sedikit pun tampak lelah di wajah Noy. Kepalanya digoyangkan mengikuti ketukan tangannya yang mengayunkan stick drum.

    Noy memang sangat terobsesi dengan Ikmal Tobing, drumer grup band Triad. Itu sebabnya dandanannya saat ini dari rambut hingga ujung kaki mirip sekali dengan Ikmal.

    Penonton semakin histeris menyaksikan aksi Noy.

    “Papaaaa…!!! pulang!!!” bentak Yaresaki, istri Noy dengan tiba-tiba. Riuh suara penonton kini hilang seketika. Penonton yang semuanya adalah anak-anak kecil tampak kecewa.

    “Tuh kan, pecah lagi ember mama.” Omel Yaresaki dengan kesal seraya memungut ember yang dijadikan drum oleh Noy.

    —oo000oo—

    Tihtian Asmoro,

  • Diikutsertakan dalam: #FF100Kata

  • sumber gambar: therockindonesiaahmaddhani.wordpress.com
  • Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry.