[Flash Fiction] 24 Tahun dan Masih Hanya Dia

Dear diary…
#Sabtu, 7 september 2013

“Halo yang di sana…” sapaku sambil mendekat kepadanya, dia pun berjalan menghampiriku. Kusungginggkan senyumku, dia balas tersenyum. Tapi sepertinya dia tahu bahwa senyumku ini senyum yang palsu, untuk sekadar menutupi kesedihanku. Wajar saja jika di antara kami tak bisa menutupi apa yang sedang terjadi, sebab kepada dia selama ini aku mencurahkan segalanya yang terjadi pada diriku. Begitupun sebaliknya.

“Itu lah risikonya mencintai. Seharusnya kamu mendengarkan aku jauh-jauh hari.” Dia mulai membuka percakapan di senja ini. Kalimat-kalimat yang sebenarnya penuh kebaikan yang jarang sekali aku mau mendengarkannya. Itu terjadi sejak aku jatuh cinta kepada seorang perempuan. Yaresaki namanya.

****

*Satu minggu yang lalu,

Waktu pada arlojiku menunjukan pukul 03:17pm dan dia belum juga datang. Aku tak peduli harus berapa lama lagi aku menunggunya di cafe ini. Inilah yang kulakukan setiap hari Sabtu.

Yaresaki bukanlah kekasihku, bahkan kami tak saling mengenal. Hanya saja kami sering berjumpa di cafe langgananku ini yang sekaligus menjadi kantor menulisku. Entah kebetulan atau apalah namanya tapi Yaresaki pun adalah pelanggan setia di cafe ini. Tapi sayang, Yaresaki berlanggan di cafe ini untuk menunggu kekasihnya. Mungkin cafe ini juga merupakan tempat favorit mereka berdua.

Memang aku selalu cemburu melihat mereka saat memadu cinta di sini. Tapi entah kenapa aku masih saja selalu menunggunya di sini. Mungkin kalian tidak akan paham dengan diriku saat aku mencintai, atau sebenarnya memang cinta itu juga tentang luka yang selalu sama tapi tak pernah jera merasakannya, padahal yang didapat seringkali hal-hal kecil dan seringkali tak masuk akal dibandingkan dengan pengorbanannya. Seperti hal yang kualami ini misalnya.

****

“Kenapa malah diam?”dia bertanya sambil meletakan kedua telapak tangannya di dagu, menyangga kepalanya seperti yang kulakukan. Aku memilih larut dalam diam dan tak menjawab. Sebab aku yakin, sebagai teman curhatku selama ini dia pun sudah tahu jawabanku.
“Besok ulang tahunmu yang keduapuluh empat kan?” tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk sedih.“Lupakanlah Yaresaki, kalau kamu ingin mulai besok tak ada lagi kesedihan seperti ini.” Sarannya dengan tegas.“Tapi aku mencintainya!” bantahku dengan nada tak kalah tegas pula.“Sayangnya dia tidak!”katanya tak mau kalah.“Aku yakin dia akan membalas cintaku.” Kataku penuh dengan keyakinan.“Hei… buka matamu anak muda, kau pun tahu besok dia akan menikah kan?” aku tak lagi bisa membatah perkataannya kali ini.

****

#Minggu, 8 september 2013

Hari ini adalah ulang tahunku. Bukan kebahagian yang kudapati, melainkan kesedihan yang begitu dalam. Yaresaki yang kuinginkan ada di sampingku di saat-saat seperti ini sedang berbahagia melangsungkan pernikahannya gedung depan cafe tempat biasa aku menunggunya. Pupus sudah harapanku memilikinya. Tak aka nada lagi yang akan kutunggu di cafe ini. Aku pulang membawa luka yang akan kusimpan sendiri.

Kesedihanku bertambah setelah aku tiba di rumah. Jangankan sebuah kejutan kecil, orang-orang dirumah malah tak ada yang ingat hari ini aku ulang tahunku. Kulihat papa asyik berkirim E-Mail dengan patner bisnisnya, mama sibuk membicarakan arisan lewat telephone-nya, kakak perempuanku tampak senyum-senyum dengan layar Blackberry-nya dan adikku begitu sibuk PlayStation 4 terbarunya. Tak ada yang mempedulikanku sama sekali.

Kujatuhkan tubuh kurusku ke ranjang. Kupejamkan kedua mata sembabku dan membiarkan pikiranku melayang tak karuan, berharap semuanya berlalu.

****

“Halo yang di sana. Selamat ulang tahun.” Dia menyapaku dengan senyum kecilnya. Aku pun tersenyum kecil sepertinya. Kucoba menghapus kesedihanku sendiri seperti yang dilakukannya yang ingin menghapus kesedihannya melihat keadaanku. Hanyalah dia satu-satunya yang mengerti aku, hanyalah dia yang memberikan ketabahan-ketabahan pada tiap kesedihanku, hanyalah dia tempat menampung dan memberikan solusi dari tiap masalahku dan hanyalah dia yang menemaniku dalam keadaan seperti apapun. Dia yang selalu ada di setiap aku di depan cermin ini. Dia adalah diriku sendiri.

—–00O00—–

Tihtian Asmoro,